Menjadi guru itu sangat menyenangkan, kita terlibat
interaksi langsung dengan para murid yang memiliki karakteristik yang berbeda,
dengan latar belakang sosial yang berbeda pula. Menjadi guru bukan berarti
lebih hebat dan sepurior, sebagai seorang guru atau pendidik kita harus
“bersahabat” dengan para murid, dalam artian tidak bersikap seolah kita harus
ditaati dan dikagumi, kita tidak bisa mejejalkan apa yang kita pahami begitu
saja kepada para murid secara langsung, ada proses dan tahapan yang tidak sama diantara
mereka.
Murid itu selalu cenderung “meniru” dan “menilai” dengan
kaca mata mereka sendiri, mereka selalu menilai dengan sudut pandang yang
berbalik dari kita-para guru-. Bila ada guru yang otoriter, maka murid akan
menilai guru ini “masa kecilnya tidak indah” iya terbiasa dengan suasana seram,
dan mencekam, padahal tidak ada sedikitpun rasa kagum yang lahir dari sikap
seperti ini. Beda lagi dengan guru yang bersikap “letoy” terlalu lemah dan
tidak tegas, tidak memiliki gairah untuk mengajar, meskipun itu hanya sebagai
bawaan saja, atau sikap yang lahir secara spontan, krena memang seperti itu
kesehariannya. Tetap saja para murid berpikir, “guru ini tidak sehat”.
Idealnya seorang guru harus selalu semangat, dalam kondisi
apa pun, ia harus tampak semangat didepan para murid, meski tidak menutup
kemungkinan juga banyak masalah yang menimpa, tapi itu tidak boleh mempengaruhi
penampilan seorang guru didepan para murid. Guru itu harus ceria, karena
sedikit saja, ada “gambar kesedihan” di wajah guru, murid sudah kehilangan
semangatnya untuk belajar. Dan guru juga harus membatasi diri dalam bersenda
gurau, karena ini sangat fatal bila guru terlalu berlebihan dalam bercanda
seolah tak ada beda antara guru dan murid, maka guru telah kehilangan nilai
“jati dirinya sebagai guru”.
Saya tidak sedang membicarakan orang lain, tapi saya
berbicara atas pengalaman saya sebagai seorang murid, dan sebagai seorang guru.
Mungkin saat ini setatus saya ada dua, sebagai pelajar di bangku kuliah, dan
sebagai guru untuk tingkat tsanawiyah. Saya punya dua pengalaman yang berbeda,
pengalaman saya sebagai seorang pelajar yang memiliki banyak teman yang berbeda
pola pikir dan wataknya, sehinngga saya bisa tahu apa penilaian mereka tentang
semua guru. Dan pengalaman saya sebagai guru, ketika menghadapi berbagai model
anak didik yang tidak sama.
Bila dibandingkan dengan guru yang lain, tentu pengalaman
saya jauh lebih sedikit, saya baru berstatus sebagai guru satu tahun yang lalu,
dan sekarang memasuki tahun kedua akhir. Tentu lebih lama saya menjadi pelajar
dibanding menjadi guru, tapi pelan dan bertahap saya mulai memahami betapa
mulia seorang guru. Proses transfer ilmu tidaklah hal yang mudah, seorang guru
itu tidak hanya sekedar “mengajar” tapi ia juga harus “mempertanggung jawabkan”
apa yang ia ajar. Bukan dikatakan seorang guru, bila ia hanya mengajar tanpa
dasar yang benar dan jelas, karena guru itu adalah patokan, bila guru sesat
maka murid akan ikut sesat.
Dalam pesantren kita mengenal istilah “barokah” barokah
disini adalah sesuatu yang menjadi berkah, selalu bertambah dan baik. Barokah
ini bisa didapat dengan cara menghormati guru, agar nantinya ilmu yang mereka
pelajari menjadi ilmu yang nafi’ ilmu yang bermanfaat. Dan ini harus ada timbal
balik dari guru juga, ilmu tidak bisa nafi’ kalau antara murid dan guru tidak
sehati, tidak sinkron.istilah lainnya “tidak ikhlas” misalkan seorang murid
yang belajar kepada seorang guru, dan ia tidak ikhlas belajar, tidak ada niatan
sungguh-sungguh untuk belajar, sampai kapanpun ia tidak akan mendapatkan ilmu
itu manfaat untuknya. Sebaliknya bila guru yang mengajar tidak ikhlas, maka
hilanglah nilai keutamaan dari mengajar dan tercabut berkahnya, si guru tidak
mendapatkan pahala melainkan lelah saja, dan murid tidak bisa mendapatkan
manfaat dari ilmu tersebut. Karena sudah tidak ada keikhlasan dari keduanya.
Jadi tidak perlu heran di zaman sekarang ini justru orang
yang pintarlah yang melanggar hukum, justru orang yang telah banyak ilmu yang
berbuat dzolim. Itu semua karena proses awalnya yang salah, “al ilmu nurun wa
nur Allah la yuhda lil a’shi” ilmu itu adalah cahaya dan cahaya Allah tidak
akan diberikan kepada orang yang gemar dan suka berbuat dosa-kerusakan.
Berapa banyak orang yang bertambah ilmunya, namun justru
tidak bertambah dekat ia kepada Allah, melainkan bertambah jauh..? andai saja
mampu, saya ingin berkata kepada seluruh murid yang ada di Indonesia ,
perbaikilah niat kalian dalam belajar, bersungguhlah mencari ilmu, untuk bekal
hidup kalian di masa yang akan datang. Hormatilah guru dan ilmu, karena dengan
itu ilmu akan menghormatimu juga. Andai saja saya mampu, saya ingin berkata
kepada seluruh guru di Indonesia ,
perbaikilah niatmu dalam mengajar, ajarkanlah ilmu yang sekiranya kau mampu dan
kau menguasainya, berilah contoh yang baik, dan sampaikan kepada mereka hikmah.
Jangan pernah menjadi orang yang sombong dan pelit terhadap ilmu. Karena ilmu
tidaklah sama dengan harta yang akan habis bila dibagi kepada orang lain, ilmu
justru akan terus bertambah mana kala kita mau berbagi kepada orang lain yang
belum tahu.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan