20 April 2013

jadilah profesi apa saja yang berjiwa guru


Menjadi guru itu sangat menyenangkan, kita terlibat interaksi langsung dengan para murid yang memiliki karakteristik yang berbeda, dengan latar belakang sosial yang berbeda pula. Menjadi guru bukan berarti lebih hebat dan sepurior, sebagai seorang guru atau pendidik kita harus “bersahabat” dengan para murid, dalam artian tidak bersikap seolah kita harus ditaati dan dikagumi, kita tidak bisa mejejalkan apa yang kita pahami begitu saja kepada para murid secara langsung, ada proses dan tahapan yang tidak sama diantara mereka.
Murid itu selalu cenderung “meniru” dan “menilai” dengan kaca mata mereka sendiri, mereka selalu menilai dengan sudut pandang yang berbalik dari kita-para guru-. Bila ada guru yang otoriter, maka murid akan menilai guru ini “masa kecilnya tidak indah” iya terbiasa dengan suasana seram, dan mencekam, padahal tidak ada sedikitpun rasa kagum yang lahir dari sikap seperti ini. Beda lagi dengan guru yang bersikap “letoy” terlalu lemah dan tidak tegas, tidak memiliki gairah untuk mengajar, meskipun itu hanya sebagai bawaan saja, atau sikap yang lahir secara spontan, krena memang seperti itu kesehariannya. Tetap saja para murid berpikir, “guru ini tidak sehat”.
Idealnya seorang guru harus selalu semangat, dalam kondisi apa pun, ia harus tampak semangat didepan para murid, meski tidak menutup kemungkinan juga banyak masalah yang menimpa, tapi itu tidak boleh mempengaruhi penampilan seorang guru didepan para murid. Guru itu harus ceria, karena sedikit saja, ada “gambar kesedihan” di wajah guru, murid sudah kehilangan semangatnya untuk belajar. Dan guru juga harus membatasi diri dalam bersenda gurau, karena ini sangat fatal bila guru terlalu berlebihan dalam bercanda seolah tak ada beda antara guru dan murid, maka guru telah kehilangan nilai “jati dirinya sebagai guru”.
Saya tidak sedang membicarakan orang lain, tapi saya berbicara atas pengalaman saya sebagai seorang murid, dan sebagai seorang guru. Mungkin saat ini setatus saya ada dua, sebagai pelajar di bangku kuliah, dan sebagai guru untuk tingkat tsanawiyah. Saya punya dua pengalaman yang berbeda, pengalaman saya sebagai seorang pelajar yang memiliki banyak teman yang berbeda pola pikir dan wataknya, sehinngga saya bisa tahu apa penilaian mereka tentang semua guru. Dan pengalaman saya sebagai guru, ketika menghadapi berbagai model anak didik yang tidak sama.
Bila dibandingkan dengan guru yang lain, tentu pengalaman saya jauh lebih sedikit, saya baru berstatus sebagai guru satu tahun yang lalu, dan sekarang memasuki tahun kedua akhir. Tentu lebih lama saya menjadi pelajar dibanding menjadi guru, tapi pelan dan bertahap saya mulai memahami betapa mulia seorang guru. Proses transfer ilmu tidaklah hal yang mudah, seorang guru itu tidak hanya sekedar “mengajar” tapi ia juga harus “mempertanggung jawabkan” apa yang ia ajar. Bukan dikatakan seorang guru, bila ia hanya mengajar tanpa dasar yang benar dan jelas, karena guru itu adalah patokan, bila guru sesat maka murid akan ikut sesat.
Dalam pesantren kita mengenal istilah “barokah” barokah disini adalah sesuatu yang menjadi berkah, selalu bertambah dan baik. Barokah ini bisa didapat dengan cara menghormati guru, agar nantinya ilmu yang mereka pelajari menjadi ilmu yang nafi’ ilmu yang bermanfaat. Dan ini harus ada timbal balik dari guru juga, ilmu tidak bisa nafi’ kalau antara murid dan guru tidak sehati, tidak sinkron.istilah lainnya “tidak ikhlas” misalkan seorang murid yang belajar kepada seorang guru, dan ia tidak ikhlas belajar, tidak ada niatan sungguh-sungguh untuk belajar, sampai kapanpun ia tidak akan mendapatkan ilmu itu manfaat untuknya. Sebaliknya bila guru yang mengajar tidak ikhlas, maka hilanglah nilai keutamaan dari mengajar dan tercabut berkahnya, si guru tidak mendapatkan pahala melainkan lelah saja, dan murid tidak bisa mendapatkan manfaat dari ilmu tersebut. Karena sudah tidak ada keikhlasan dari keduanya.
Jadi tidak perlu heran di zaman sekarang ini justru orang yang pintarlah yang melanggar hukum, justru orang yang telah banyak ilmu yang berbuat dzolim. Itu semua karena proses awalnya yang salah, “al ilmu nurun wa nur Allah la yuhda lil a’shi” ilmu itu adalah cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang gemar dan suka berbuat dosa-kerusakan.
Berapa banyak orang yang bertambah ilmunya, namun justru tidak bertambah dekat ia kepada Allah, melainkan bertambah jauh..? andai saja mampu, saya ingin berkata kepada seluruh murid yang ada di Indonesia, perbaikilah niat kalian dalam belajar, bersungguhlah mencari ilmu, untuk bekal hidup kalian di masa yang akan datang. Hormatilah guru dan ilmu, karena dengan itu ilmu akan menghormatimu juga. Andai saja saya mampu, saya ingin berkata kepada seluruh guru di Indonesia, perbaikilah niatmu dalam mengajar, ajarkanlah ilmu yang sekiranya kau mampu dan kau menguasainya, berilah contoh yang baik, dan sampaikan kepada mereka hikmah. Jangan pernah menjadi orang yang sombong dan pelit terhadap ilmu. Karena ilmu tidaklah sama dengan harta yang akan habis bila dibagi kepada orang lain, ilmu justru akan terus bertambah mana kala kita mau berbagi kepada orang lain yang belum tahu.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan