11 April 2013

Mengejar Hidayah


“Mana mungkin orang kaya itu mau dengan mu, lelaki yang tak punya identitas jelas. Mana mungkin orang kaya itu mau dengan mu, lelaki yang tidak jelas. Jelas-jelas dia menolakmu, tak perlu lagi kau mengejar mimpimu itu, mimpi pada siang bolong. Aku sudah bosan ingatkan ini padamu, cobalah sadar sedikit, siapa dirimu. Kau selalu saja berkilah dengan alasan cinta. Lelaki sepertimu seharusnya tak mengenal cinta, tak harus mengenalnya, dan sekarang kau tahu kan, itulah dia, si orang kaya yang kau cintai, jelas-jelas dia tidak akan mau denganmu”.
Malam yang dingin sekali, seluruh tubuhku bergetar, aku kedinginan, tubuhku menggigil, bibirku pucat, mataku terasa berat. Ah, andai saja bukan karena malam ini, mungkin aku sudah terbaring pulas di rumah. Angin tak lagi menyapa dengan lembutnya, mulai ada suara berisik, suara angin, daun dan ranting yang patah, nafasku tertahan dan dadaku mulai sesak. Malam ini aku harus kesana, ini adalah malam peruntungan ku, aku bisa menghabiskan malam yang panjang, ini adalah waktunya, sejak lama aku bayangkan perjumpaan ini.
Jalanku begitu gelap, ah, aku lupa tidak bawa senter, harusnya aku ingat ini sebelum berangkat, sudah terlanjur jauh tak mungkin aku kembali. Aneh, malam ini semakin larut tapi aku masih belum sampai. Mataku terasa berat, ini dingin sekali.
“Sedang apa kau disini. Ini bukan tempatmu, pulang sana”. Siapa yang berani membentakku malam ini, pasti aku sedang bermimpi, tapi kupingku panas sekali. “Cepat pergi, sebelum yang lain datang, nanti kau bisa dimakan mereka”.
Aku tambah pusing, aku berlari, aku lupa jalan ku begitu gelap. “Hai.,, kau menabrak ku, Cepat minta maaf”, aku minta maaf. “Apakah begitu saja, lihat mereka”.
“Loh kok kamu bisa ada disini, kamu habis mabuk ya, sejak kapan kau suka minum”. Iya aku sedang mabuk dan pusing, tapi aku tidak minum. Aku bertemu dengan orang aneh semalam. “orang aneh, mana mungkin ada orang aneh, kau saja yang mabuk. Cepat pulang dan bersihkan dirimu, kau harus istirahat, tak ada baiknya disini dengan wajah seperti itu”.
Wajah, kenapa wajahku, apakah ada yang aneh.
Dirumah itu aku terdiam, aku lupa dengan wajahku, aku lupa dengan caraku melihat, bukankah ini rumahku yang dulu, dan beginilah dari dulu, apa yang salah. Tidak ada air, aku harus mengambilnya di sungai. “Jangan kesini, pergi, pergi, pergi”.
Apakah di rumah selalu seperti ini, melihat ke dinding yang gelap. Ah, matahari, kau selalu pergi dengan cepat, cepat sekali.
“Harusnya kau merasa beruntung sekali, aku masih mau disini menemanimu, kalau tidak, mau jadi apa kau disini, sudah ku bilang dari dulu, tapi kau tidak pernah mau mengerti. Malam ini malam yang keseratus, kau tak boleh keluar lagi, orang kaya itu tidak akan mau denganmu, orang kaya itu akan membunuhmu, karena malam ini adalah malam keseratus”.
Jangan coba-coba kau merayuku, dia tidak mungkin membunuhku, bukan kah aku sudah katakan padamu, dia adalah cintaku. “Kau terlalu banyak memakan pil cinta, lihatlah dirimu, bahkan, kau saja tak ingat bagaimana kau bisa hidup sampai saat ini. Orang tidak kasihan padamu, mereka membencimu, mereka ingin membunuhmu”. Tidak, tidak, tidak.
“Terserah lah, kau terlalu keras kepala. Coba saja kau ingat, adakah cinta itu membuatmu bahagia seperti yang selalau kau katakan, mana buktinya, kau hanya bisa bercerita”.
Hari semakin gelap, tak ada lagi yang diluar rumah, malam ini begitu tenang, tak ada cemburu juga petaka, malam ini tak ada cahaya dari langit, bintang dan bulan juga ikut tertidur. Karena malam ini adalah malam yang keseratus. aku harus kerumahnya, aku harus katakan padanya, aku masih sama seperti dulu.
“Cepat sekali kau datang, ini masih belum tengah malam, pulanglah lagi, dan kembalilah nanti”. Mataku sudah perih, aku tak bisa kembali, biarkan aku menunggu disini, aku tak apa bila harus menunggu disini, kakiku sudah tak kuat lagi. Sudah malam sekali, sudah larut, aku tak dapat melihat, gelap.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan